
Sidoarjo, Jatim (shautululama) – Terkait sistem demokrasi yang telah melahirkan berbagai undang-undang (UU) zalim dan cenderung mengarah kepada kehancuran tatanan kehidupan, Pengamat Politik Ustaz Hanif Kristianto menyerukan kepada seluruh elemen umat Islam untuk mencerdaskan diri dengan politik Islam.
“Kami serukan kepada ulama, kepada asatidz, kepada habaib dan juga kepada umat Islam di negeri ini, ambillah peran,” tegasnya dalam Liqo Syawal Ulama Aswaja Sidoarjo 1443 H: Akhir Era Demokrasi, Khilafah Pasti Tegak Dalam Waktu Dekat, Ahad (29/5/2022) di kanal YouTube At Tafkir Channel.
“Yang pertama ialah mencerdaskan diri dengan politik Islam, yakni politik yang mengurusi urusan umat dengan syariah Islam secara kafah,” sambungnya.
Sebagaimana diketahui, politik Islam dimaksud tak hanya mengurusi dunia, tetapi juga urusan agama. Sedangkan Indonesia yang merupakan negeri mayoritas Muslim saat ini masih mengadopsi demokrasi sebagai sistem politiknya.
Demokrasi, di samping tidak berasal dari Islam dan bahkan bukan bagian dari Islam, upaya menyamakannya dengan Islam, sama dengan mencampuradukkan antara yang hak dan batil atau minyak dengan air. “Tidak akan pernah bisa bersatu,” tukasnya seraya menukil Firman Allah SWT yang artinya,
‘Barang siapa siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka termasuk orang-orang yang zalim’ (QS. Al Maidah: 45)
Sementara, asas demokrasi sendiri berasal dari sekularisme yakni paham yang memisahkan urusan agama dengan kehidupan.
Pun jargon dari demokrasi tak seindah yang senantiasa didengungkan, ‘Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’. “Faktanya dia hanya sebatas jargon dan kita sering tertipu oleh ucapan-ucapan manisnya,” paparnya.
“Bagaimana bisa negeri yang mayoritas Muslim ini bisa mengambil sistem yang tidak Islami,” herannya, seraya mempertanyakan alasan penyebab umat Islam yang ingin mengambil Islam lantas dilabeli dengan stigma yang bermacam-macam.
Liberalisasi
Tak ayal konsekuensi dari mengambil demokrasi sebagai sistem pemerintahan, kata Hanif, mengakibatkan liberalisasi politik dan hukum, termasuk sektor ekonomi, budaya, sosial dsb.
Sebutlah lahirnya UU Cilaka Omnibuslaw atau yang diperkenalkan pemerintah sebagai UU sapu jagat. “Ini bukan persoalan doa sapu jagat, yang itu kita ingin sejahtera dunia akhirat. Tetapi undang-undang ini malah menyengsarakan dunia hingga akhirat kelak,” ucapnya sedikit berseloroh.
“Undang-Undang Omnibuslaw ini (pun telah) mendapatkan penolakan dari ragam elemen masyarakat baik dari alim ulama, karena di situ ada nanti muncul juga Undang-Undang Pesantren,” ungkapnya sembari memisalkan, bahwa di dalam ketentuannya, mendirikan pesantren harus ada izin. Kalau tidak, pengasuhnya bakal diproses hukum dan bahkan didenda hingga miliaran rupiah.
Belum lagi UU Minerba yang ia nilai sebagai kebijakan yang akan memberi karpet merah serta melanggengkan para oligarki, yaitu segelintir orang yang ingin menguasai dan mengeruk kekayaan negeri ini, dan menjadikan para penguasa ini sebagai boneka-boneka mereka.
Di sisi lain, kemunculan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menurut Hanif, juga sangat bernuansa komunisme. “Bagaimana umat Islam yang mayoritas di negeri ini, ingin dijauhkan kembali dari agamanya, ingin dijauhkan lagi dari syariat Islam,” sesalnya.
Padahal sekali lagi, kerinduan umat pada syariah Islam saat ini, bagi Hanif sungguh luar biasa seiring banyaknya kerusakan yang terjadi.
Jelasnya tak hanya itu, masih banyak UU yang lain. Seperti UU 12/2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang ia baca sebagai UU yang justru melegalkan seks bebas.
Pun yang terbaru, kata Hanif, peristiwa terkait LGBT yang terkesan dibiarkan oleh penguasa. “Bahkan terjadi pengibaran bendera LGBT di Kedubes Inggris semua bereaksi, sayangnya ada juga yang menyatakan itu bukan urusan kita. Lalu apa urusan dia sebetulnya?” senyumnya dengan nada menyinggung.
Maknanya, di negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini, telah dan tengah terjadi penghancuran akidah umat, serta pengambilan paksa kekayaan alam oleh korporasi. “Inilah yang perlu kita cermati,” timpalnya.
Oleh karena itu, terkait hipokritnya demokrasi, ia pun merasa perlu menyampaikan bahwa setiap UU yang dihasilkan dari sistem tersebut, pasti membawa kemudharatan. “Bagaimana sesuatu yang haram itu dihalalkan, baik produksi menjualnya sebagaimana miras,” tandasnya.
“Bagaimana sesuatu yang halal atau wajib itu dilarang sebagaimana beberapa jamaah dakwah yang memperjuangkan syariah dan khilafah itu dilarang. Bahkan mewujudkannya saja itu dihalang-halangi,” tambahnya dengan menyebut itu sebagai kezaliman di atasnya kezaliman yang nyata.
Padahal upaya yang mereka lakukan itu, kata Hanif, sebagaimana pula mereka tidak akan pernah bisa menghalang-halangi terbitnya matahari dari timur.
Maka itu, sekali lagi ia menekankan pentingnya seluruh elemen umat Islam mengambil peran, minimal memahamkan diri mengenai arti pentingnya menerapkan politik Islam.
“Inilah yang kita rindukan dan sekali lagi penerapan politik Islam secara kafah ini hanya bisa diwujudkan dengan tegaknya khilafah. Allahuakbar,” pungkasnya. []Zainul K