
Pacitan, Jatim, -shautululama.co – “Pajak itu tarikan negara kepada seluruh rakyat sebagai penopang utama ekonomi negara. Hal ini berbeda dengan zakat, di mana zakat ditarik oleh negara dari kaum muslim yang mampu untuk dialokasikan pada Ashnaf 8,” ujar Dr. Fahrul Ulum, MEI, dalam acara Multaqo Ulama Aswaja Pesisir Selatan, yang diselenggarakan secara daring pada Ahad malam, tanggal 13/3/2023.
Dalam pertemuan bertajuk “Membangun Ketahanan Ekonomi Tanpa Pajak, Bisakah?” tersebut, Dr. Fahrul Ulum menyampaikan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, pelaku utama ekonomi adalah swasta. Swasta bisa mengelola sektor kepemilikan individu, sektor kepemilikan umum, bahkan sektor kepemilikan negara. Keterlibatan utama swasta ini bisa dalam bentuk penguasaan penuh pengelolaan bisnis, kontraktor, maupun investor. Dari pengelolaan tersebut, swasta menyerahkan sejumlah pajak. Jadi, negara hanya sebagai fasilitator dan selanjutnya mendapatkan sumbangan pajak.
“Tentu tidak hanya itu, masih banyak lagi sumber pendapatan pajak lainnya, seperti pajak pendapatan, pajak penghasilan, pajak barang mewah, pajak pertambahan nilai, cukai, dan lain lain,” tambahnya.
Lebih lanjut, Dr. Fahrul Ulum menjelaskan bahwa upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, termasuk tax amnesty, akan terus dilakukan demi memperbesar pundi-pundi pajak. Hal ini disebabkan, untuk Indonesia, pendapatan pajak menopang 85% dari seluruh pendapatan negara. Dengan begitu, ketika pemasukan pajak seret, maka collaps-lah perekonomian negara tersebut.
Hal ini berbeda dengan zakat. Sekalipun merupakan instrumen penting dalam perekonomian, tetapi zakat hanya ditarik atas orang tertentu, komoditas tertentu, jangka waktu tertentu, dan diperuntukkan untuk obyek tertentu; yaitu Ashnaf 8. Plus, ditempatkan pada pos tertentu pada baitul mal sehingga tidak tercampur dengan harta yang lain.
Zakat mampu mengangkat perekonomian masyarakat yang, karena kondisi tertentu, tidak bisa bersaing secara wajar di pasar ekonomi. Ketika zakat telah disalurkan kepada mereka, mereka akan berdaya dan bisa memasuki mekanisme pasar ekonomi kembali. Jika semua orang berdaya dalam pasar ekonomi, secara simultan akan terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan yang merata akan menjadi cepat terwujud.
Peningkatan volume pendapatan zakat bisa dicapai dengan meningkatkan pendapatan kaum Muslimin. Sementara peningkatan pendapatan kaum muslim bisa diraih dengan bekerja keras dan hasil kerjanya tidak dikurangi pajak, biaya pendidikan yang mahal, biaya kesehatan yang mahal, biaya fasilitas umum yang mahal, dan beban biaya mahal lainnya. Hasil kerja kaum muslim hanya untuk konsumsi dan simpanan (saving). Jika saving tinggi, otomatis zakat akan melimpah.
Bagaimana mungkin hasil kerja hanya untuk konsumsi dan saving?
“Ya, karena semua fasilitas umum; baik pendidikan, kesehatan, BBM, transportasi umum, dll, telah dipenuhi oleh negara dari hasil pengelolaan kepemilikan umum. Rakyat mendapatkannya secara gratis,” tandas DR. Fahrul Ulum.
Lantas, bagaimana pajak dalam sistem Islam?
“Dalam konteks dharibah, pajak seperti itu ada dalam Islam. Sifatnya temporal dan insidental, yaitu saat kas negara kosong atau untuk mendanai kebutuhan negara yang sangat besar dan mendesak. Itu pun hanya ditarik atas kaum muslim yang kaya saja. Adapun pajak dalam artian cukai, hukumnya haram atas kaum muslim. Sementara atas kafir harbi yang terlibat ekspor-impor, diperbolehkan memungutnya,” pungkasnya. (Rch/DK)