Khilafah Ajaran AswajaKhilafah Bisyaroh RasulullahKhilafah Janji AllahMultaqa Ulama Aswaja Manhaji

Demokrasi Gagal Sejahterakan Indonesia, Multaqa Ulama Aswaja DIY, Jateng dan Jatim Serukan Islam Kaffah

Yogyakarta (shautululama)—Sengkarut pemilu demokrasi 2024 mendapatkan respon dari ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Hadir pada Multaqa Ulama Aswaja, Ahad (27/4/2024), ulama DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Tampak KH Toha Cholili, Kyai Laode Heru Elyasa, Kyai Utsman Zahid, Kyai Sepuh Zainullah Muslim, KH Mahfudz Suhad, KH Rasyid Supriadi, Kyai Abah Narko Abu Fikri, dan deretan asatidz, sekaligus habaib.

Kyai Abah Narko tampil pertama menyampaikan demokrasi gagal menyejahterakan, gagal memberikan keadilan dan kepastian hukum, dan gagal menjaga ketaatan kepada Allah SWT.

Keterpilihan Yogyakarta menjadi tuan rumah, menurut Abah Narko karena ingin menyaksikan khilafah tegak. Sebab bekas-bekas khilafah masih bisa terlihat di Yogyakarto atau Ngayugyokarto Hadi Ningrat.

“Keraton Ngayogya Karto bukan semata-mata budaya, tapi di sana masih ada tinggalan syariat, kitab-kitabnya, dan sebagiannya perjalanan sejarah panjang penerapan Islam yang berakhir pada 1924 di era Turki Utsmani. Yogyakarta menjadi kepanjangan tangan dari Turki Utsmani,”bebernya.

Di tengah masih banyak yang mengelu-elukan demokrasi sistem terbaik, Abah Narko menegaskan jika fakta sekarang sudah jelas tampak kebobrokannya. Semakin lama semakin terlihat buruk, jelek, dan tidak pantas dijadikan sistem yang mengatur manusia.

“Karena itu, insya Allah sebagian besar para pejuang akan menyuarakan bahwa yang dianggap benar dan terbaik (politik demokrasi) sebenarnya adalah paling jelek. Maka tampak pemilu kemarin terjadi sengketa dan biasanya sengketa selesai dengan perundingan. Kemudian dibagi sana-sini. Selesai tidak selesai dapat jatah masing-masing,” tandasnya.

Tambahnya, ”Oleh karena itu, para alim yang dirahmati Allah, maka Liqo’ Syawal ini pembicara akan mengangkat kegagalan demokrasi dalam memberikan kepastian hukum bagi rakyat. Serta kegagalan demokrasi menjaga ketaatan kepada Allah SWT.”

Sedangkan ulama Aswaja DIY yang lain menegaskan ulama sebagai pewaris nabi adalah kontributor politik terbesar, wajib bersatu tidak dipecah belah oleh kepentingan. Kemudian ulama pun berkhidmat kepada Islam semata dan loyalitas hanya kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Pesta demokrasi sudah berlangsung. Sengketa demokrasi hasilnya sudah bisa kita perkirakan siapa yang menang yaitu yang dekat dengan penguasa,” ungkapnya mengawali pembicaraan.

Suksesi kepemimpinan di Indonesia menghadirkan pemimpin yang beragam, termasuk kyai. Sayangnya, masih jauh api dari panggang. Mereka hanya membawa janji-janji. Buktinya kemiskinan masih meraja lela, demikian juga dengan kriminalitas. Dari problem dekadensi moral hingga ekonomi, termasuk pengelolaan sumber daya alam.

“Setiap presiden bukannya menyelesaikan hutang, tapi justru menambah hutang dan berlomba-lomba menambah hutang. Padahal hutang itu sudah riba,” bebernya menyayangkan.

Beliau juga mengingatkan, Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah mereka itu adalah orang-orang yang zalim dan fasik.

“Kita para ulama adalah warasatul anbiya. Estafetnya pada diri kita. Maka saudaraku terus menyuarakan dakwah perjuangan tidak hanya ibadah ritual belaka, tapi juga ibadah yang bersifat politik. Politik Islam yang bermakna mengurusi umat dan menjalankan syariah Islam secara sempurna,” serunya.

Acara ini hadir offline dan online. Sebuah seruan dari ulama Aswaja untuk Indonesia lebih baik dengan syariah.[hn]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button