Pacitan, Jatim -shautululama.co – “Dalam sistem demokrasi seperti ini, kalau pajak itu nggak ada maka ambruklah keuangan negara. Termasuk ambruk pula pemerintahan dan negara,” ujar Kyai DR Fahrul Ulum, MEI, Pengasuh MT Al Azis-Trenggalek dalam pemaparan makalahnya yang dibacakan pada acara Multaqo Ulama Aswaja Pesisir Selatan pada Kamis malam (18/5/2023).
Dalam acara Multaqa Ulama Aswaja Pesisir Selatan Jatim, bertema “Pajak adalah Instrumen Sistem Ekonomi Kapitalis untuk Memalak dan Menyengsarakan Rakyat” tersebut, Kyai Fahrul Ulum menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi, yang menganut ekonomi kapitalis sekuler, pajak akan selalu menempati posisi utama dalam struktur perekonomiannya.
Beliau mencontohkan postur APBN Indonesia tahun 2023, di mana pendapatan sebesar 2.463 triliun rupiah. Dari 2.463 triliun rupiah tersebut, yang berasal dari pajak sebesar 2.021 triliun rupiah. Artinya, sekira 80% pendapatan negara ini diambil dari pajak.
“Kalau kita pikir, secara logika, jika kemudian pendapatan pajak ini bermasalah, bermasalah keuangan negara. Berarti andalannya memang tetap pajak. Oleh karena itu, maka terus ditanamkan kesadaran agar orang itu mau membayar pajak. Ada undang-undang yang ditetapkan, misalkan undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan. Sampai dikatakan, pajak itu oleh rakyat, untuk rakyat. Tetapi kalau kita lihat listrik tinggi, BBM tinggi, apalagi rumah sakit masih tinggi, pendidikan biaya tinggi, pertanian biayanya masih tinggi, apa betul bahwa pajak itu dari rakyat, kemudian oleh rakyat, untuk rakyat?” tanya Kyai Fahrul Ulum retoris.
Tak hanya itu, Pengasuh MT Al Azis ini juga menyampaikan persoalan pajak lainnya, yang ternyata dalam realitasnya banyak yang dikemplang oleh petugas pajak.
“Sudah repot-repot mau bayar pajak, ternyata setelah terkumpul malah dikemplang. Sudah menyengsarakan dan menyakitkan. Sengsara dan sakit itu adalah sengsara yang lengkap, bertambah-tambah,” ujarnya.
Secara teori transfer payment yang diadopsi oleh banyak negara, rakyat diminta untuk membayar pajak dan negara akan memberi fasilitas. Itu belum tercapai atau akan susah untuk bisa dicapai. Kalau pun tercapai, rakyat pasti akan terbebani dengan pajak yang sangat tinggi dan menyengsarakan.
Dalam sistem demokrasi seperti ini, jika pajak tidak ada maka ambruklah keuangan negara, termasuk ambruk pula pemerintahan dan negara.
“Walaupun di mana-mana ada tarikan pajak dan semua sektor ada tarikan pajak, ternyata tidak menjadikan fasilitas yang kita nikmati itu berjalan dengan baik dan bisa kita akses dengan mudah dan murah. Bukan pemalakan dalam bahasa yang unsich atau saklak, tapi seakan-akan seperti pemalak. Tapi karena seakan-akannya itu sangat kentara, maka dikatakan begitu,” ujar Kyai Muhammad Azzam, pengasuh MT Khoiru Ummah-Trenggalek.
Menurut Kyai Azzam, sebagai satu produk yang di luar ketetapan Allah, pajak ini senantiasa mendatangkan masalah. Menyitir Surat Thaha ayat 123—124,
“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka tidaklah dia akan tersesat dan tidaklah akan celaka.”
Ketika kita itu mengikuti petunjuk Allah, yakni menurut Ibnu Katsir adalah ketetapan-ketetapan yang dibawa oleh Rasul, baik dalam Alquran maupun as-sunnah, tentu di dunia tidak akan tersesat dan di akhirat kelak tentu tidak akan celaka. Sebaliknya, jika berpaling dari peringatan-Ku, baginya adalah kehidupan yang sempit dan di akhirat kelak akan dikumpulkan dalam kondisi buta.
“Nah, bisa kita pahami dari sisi bahasa akidah bahwa apa pun ketetapan dari selain Allah dan ketika kita berpaling dari peringatan Allah, itu akan menjadikan kehidupan yang sempit,” terang Kyai Azzam.
Lantas, apakah Islam mengenal pajak? Dalam Islam ada istilah dharibah, tetapi bersifat temporal. Jadi, ketika kas negara kosong, kaum muslim yang kaya diminta untuk membantu menutupi kebutuhan. “Temporal sekali. Hanya untuk orang kaya, hanya untuk Muslim. Itu namanya dharibah,” terang Kyai DR Fahrul Ulum, MEI.