
Madura, Jatim (shautululama) – Multaqo Ulama Aswaja Jawa Timur dan Bali, Sabtu (29/1/2022). Bertema “ISLAM MENGHARAMKAN REZIM DZALIM, KRIMINALISASI ULAMA DAN AJARAN ISLAM”. Hadir ulama, kyai, dan habaib pilihan. KH Ibnul Hajjaj dari PP At Tanwir Sampang Madura. Beliau menyampaikan kalimah minal ulama. Ceritanya begitu menginspirasi sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia.
Kerinduan beliau berkumpul dalam majelis tampaknya sudah ditunggu-tunggu. Sehingga momen Multaqa Ulama Aswaja ini menjadi pemersatu kembali.
“Insya Allah satu hati, satu pikiran, sama-sama ingin menerapkan syariah Islam melalui daulah khilafah. Sekitar dua atau tiga hari saya sangat rindu teriakan syariah dan khilafah. Seperti di gelora Bung Karno Jakarta dan di Sidoarjo,”ungkapnya menggebu-gebu.
Sebagaimana cerita almukarom KH Ibnu Hajjaj. Dulu tahun 1990-an di Surabaya di sebuah pengajian perjumpa dengan seorang kakek yang menyaksikan proklamasi kemerdekaan. Oleh Ir Soekarno dibacakan tidak ada orang yang menggubris. Tidak ada orang yang peduli.
“Barulah ketika tanggal 22 Oktober 1945 KH Hasyim Asy’ari memfatwakan wajib jihad fi sabilillah. Karena menurut KH Hasyim Asy’ari karena Indonesia adalah darul Islam. Spontan bangkitlah arek-arek Surabaya untuk melawan penjajah yang kembali pada waktu itu,”bebernya.
Kemudian, yang berperang 10 November bukanlah Tentara Nasional Indonesia atau Polisi, tapi yang berperang lainnya. Seperti penjual soto, tukan sate, tukang becak. Sedangkan lawannya bawa pesawat tempur, kapal perang, tank, bawa senjata serba canggih.
“Apa yang dibawa oleh orang tua kita? Mereka membawa senjata seadanya. Ada yang bawa berang, linggis, dan bambu runcing. Bayangkan tank dilawan dengan senjata seadanya,”tegasnya mengajak peserta untuk mengenang peristiwa bersejarah.
Lain cerita, lanjutnya menyebutkan Pak Dhenya, KH Siraj di Sampang. Beliau salah satu anggota Hizbullah. Komandannya KH M Rasyad. Benderanya merah bintang bulan putih di tengah. Kata-kata komando semangat melawan penjajah.
“Bukan dengan kata ayo bela ibu pertiwi. Ayo kita tegakkan bendera merah putih. Ayo kita berjuang demi Pancasila. Ini kenyataan yang terjadi. Bukan bermaksud merendahkan,”tegasnya kembali.
Barangsiapa yang ingin mati syahid itu Belanda sudah datang ayo kita hadang. Semuanya bangkit. Tidak ada yang duduk-duduk. Tempat penghadangannya yang sekarang jadi kantor Kodim. Pertempuran berjalan tak seimbang, tapi tidak ada rasa takut sedikitpun. Kenapa? Karena yang membangkitkan perlawanan ialah jihad fi sabilillah. Yang dirindukan ialah mati syahid dan jannah.
Tak hanya itu, beliau melanjutkan cerita sejarah Masyumi yang dibubarkan pemerintah.
“Oleh pemerintahan Soekarno partai Masyumi dibubarkan. Alasannya dibuat-buat. Alasannya karena terlibat pemberontakan. Saya baca sendiri di buku di bawah bendera revolusi yang ditulis Bung Karno. Alasannya sebenarnya karena tidak mau diajak kerjasama. Sebab mau merekatkan nasakom.”
Tahun 1965 kembali pemberontakan PKI. Bersatu antara angkatan bersenjata dengan umat Islam. PKI kalah. Lagi-lagi setelah musuh kalah, umat Islam didzalimi. Ketika mengadakan pengajian penyelenggara dipanggil ke kodim.
“Tahun 1990 pemerintah orde baru mendekat kepada Islam. Dakwah semarak. Ternyata ada yang disembunyikan yaitu menurut TNI umat Islam tetap diangap sebagai ancaman NKRI. Walaupun secara lahiriah tampak dekat dengan Islam,”bebernya yang tampak ingatannya jelas terkait sejarah.
Beliau menyayangkan, Saat ini yang membunuh TNI Polri tidak diawasi. Malahan umat Islam. Inilah nasib umat Islam karena umat tidak punya kekuatan. Karena umat Islam tidak bersatu.
“Jadi, mari kembali ke Islam kaffah lalu bersatu mewujudkan Izzul Islam wal Muslimin,”serunya menutup pidato.
Agenda ini berlangsung secara hybrid. Penonton yang menyaksikan live streaming You Tube ribuan. Sungguh agenda ini mencerdaskan.[]