
Pesisir, Jatim, shautululama.co – Multaqo Ulama Aswaja Pesisir Selatan Jatim, dihadiri oleh sejumlah ulama, kyai dan pengasuh ponpes di pesisir Selatan, meliputi Tulungagung, Pacitan, Trenggalek, Kediri dan sekitarnya.
Dalam pemaparannya, Ust. M. Ali Syafiudin menyebutkan bahwa UU Ciptaker membuka kran liberalisasi ekonomi dan investasi, yang berakibat mudahnya TKA China masuk ke Morowali. Setelah disahkan oleh DPR pada tanggal 5 Oktober 2020 dan diundangkan tanggal 2 November 2020, UU Cipta Kerja no 11 Tahun 2020 (UU Ciptaker) dinyatakan ‘inkonstitusional bersyarat’ oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 25 November 2021.
Hal tersebut disebabkan UU Cipta Kerja dianggap cacat secara formal dan cacat prosedur dan harus diperbaiki maksimal 25 November 2023.
“Munculnya UU Ciptaker terkesan untuk kepentingan oligarki karena UU ini telah membuka kran liberalisasi dan investasi sebesar-besarnya pada semua sektor. Dibuatnya UU ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya adalah karena memang ada perusahaan yang mau habis masa kontraknya,” ungkap Ust. Ali Syafiudin.
Dalam kenyataannya, UU ini bukan untuk membuka lapangan kerja, tetapi untuk meningkatkan investasi karena adanya kemudahan dan pemangkasan izin investasi serta pembebasan tanah. Kemudahan perizinan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan lindung bisa berakibat meningkatnya deforestasi. Apalagi perusahaan tidak perlu melakukan wajib AMDAL.
Selain itu, tenaga kerja asing hanya perlu memiliki Rencana Penggunaan TKA (RP TKA), tanpa Visa Tinggal Terbatas (Vitas) dan Izin menggunakan TKA. Bahkan TKA setingkat direksi, komisaris, hingga pemegang saham asing tidak perlu memiliki RPTKA. Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi pun dihapus, bahkan ketentuan perusahaan wajib memulangkan TKA juga dihapus.
Kemudahan perizinan menyebabkan perusahaan asing sering mengabaikan hak-hak pekerja lokal. Diawali adanya kecelakaan kerja yang menimpa dua pekerja Indonesia, serikat pekerja mendesak PT GNI agar menerapkan prosedur Keselamatan Kesehatan Kerja atau K3, membuat Peraturan Perusahaan, tidak Menghentikan status kontrak pada pekerja Indonesia, dan tidak menghentikan pemotongan upah secara tidak jelas.
Namun, pihak manajemen Perusahaan GNI justru mengeluarkan ancaman PHK. Situasi memanas dan terjadilah kerusuhan. Jika diamati, pangkal masalahnya terletak pada liberalisasi ekonomi. Pemerintah membuka kran kebebasan investasi di semua sektor, termasuk sektor-sektor kepemilikan rakyat.
Seperti barang tambang, yang seharusnya dikelola oleh negara dan diperuntukkan untuk rakyat, tetapi justru diserahkan kepada swasta. Hal ini disebabkan pemerintah berpijak dan menerapkan sistem kapitalisme, serta memisahkan sistem kehidupan dan agama.
PT GNI, perusahaan di mana terjadi bentrokan antar karyawan asing dan pekerja lokal tersebut bergerak di bidang pengolahan nikel. Menurut Ust. Abdul Azis Sholahudin, nikel merupakan mineral yang memiliki banyak manfaat. Sifatnya keras dan mudah dibentuk sehingga sangat dibutuhkan di berbagai industri, termasuk industri baterai motor maupun mobil listrik.
Dalam syariat Islam, nikel harta milik umum sebagaimana hadist dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput, dan api. Dan harganya adalah haram.”
“Berdasarkan hadist di atas, nikel harus dikelola oleh negara dan digunakan untuk memakmurkan rakyat. Dan, haram hukumnya dikuasai perorangan atau perusahaan swasta, termasuk perusahaan asing Cina,” terang Ust. Abdul Azis Sholehudin.