
Sidoarjo, (shautululama) – Pembina Majelis Ta’lim Nibrasul Qalbi Sidoarjo KH. Ibnu Anwar, M.Si. mengungkapkan, penyebab dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terutama jenis pertamax, dikarenakan negeri ini menerapkan ideologi sekuler kapitalisme.
“Kenapa ini bisa terjadi? Semua ini karena kita, di negeri kita diterapkan ideologi sekuler (kapitalisme),” tuturnya dalam _Ijtima’ Ramadhan Ulama Aswaja Sidoarjo: Tolak Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok, Islamofobia, Penghapusan Madrasah, dan Tolak Anak PKI Menjadi TNI,_ Ahad (17/4/2022) di kanal _YouTube At-Tafkir Channel._
Diketahui, kenaikan harga gasoline RON 92 (pertamax) ternyata lebih dari 30%, dari semula Rp9.000 menjadi Rp12.500. Sementara, kata Kiai Anwar, begitu sapaan akrabnya, kenaikan harga rencananya juga akan diberlakukan pada jenis BBM lain.
“Segera disusul kenaikan bahan bakar yang lain, pertalite, solar, listrik, lpg. Ini hasil rapat antara Menteri ESDM Arifin Tasrif dengan Komisi VII DPR RI pada 13 April,” bebernya dengan menambahkan kenaikan itu akan memicu kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok lainnya.
Konsep Kepemilikan Harta
Lebih lanjut, Kiai Anwar menjelaskan tentang konsep kepemilikan harta di dalam sistem pemerintahan sekuler kapitalisme. Yakni harta milik negara dan individu.
Tak ayal dengan penerapan ideologi itu, kata Kiai Anwar, jenjang antara si kaya dengan miskin makin jauh. “Mereka (pemilik modal/kapital) akan semakin kaya, sementara yang kebanyakan masyarakat ini akan mengalami banyak kesulitan,” tandasnya.
Tidak begitu dengan konsep kepemilikan harta dalam Islam yang menurut Kiai Anwar, sangat berbeda dengan sistem kapitalisme. “Dalam konsep Islam kepemilikan harta itu ada tiga,” tegasnya.
Milik negara, individu dan umat/rakyat atau biasa dikenal dengan kepemilikan umum. “Ini yang tidak ada dalam sistem kapitalis. Sehingga pasti kalau diterapkan sistem kapitalis, umat enggak punya apa-apa, rakyat enggak punya apa-apa, karena enggak punya aset di situ,” jelasnya.
Maksudnya, sebagaimana Hadits Rasulullah SAW, riwayat Imam Abu Dawud yang artinya, ‘Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api’, ketika Islam diterapkan, secara langsung umat memiliki aset.
“Ada banyak harta kekayaan yang itu menjadi milik umat,” tambahnya.
Lantaran itu, berkenaan dengan BBM dalam konteks Hadits dimaksud termasuk kategori api, yang menurut Kiai Anwar berarti energi, semestinya tidak boleh dikuasai oleh individu, baik swasta, asing, ataupun Aseng. “Tidak boleh dikuasai,” tegasnya sekali lagi.
Namun secara fakta, ia sangat prihatin melihat hampir semua sumber daya alam (SDA) di negeri-negeri kaum Muslimin dikuasai oleh swasta. “Sehingga umat tidak memiliki kesempatan untuk menikmati yang itu menjadi haknya,” sedihnya.
Justru, dikarenakan untuk mengeksplorasi SDA penghasil energi yang merupakan harta milik umat tersebut membutuhkan biaya tidak sedikit, maka, negaralah yang akan melakukannya.
Sedangkan nantinya, tambah Kiai Anwar, biaya tersebut dibebankan ke umat dengan harga murah. “Bukan hitungan bisnis. Enggak seperti sekarang, begitu ada harga minyak dunia naik, kemudian (harga di dalam negeri) dinaikkan,” sesalnya.
Malah secara Indonesia, menurut Kiai Anwar, sebenarnya sangat mampu mengeksplorasi sumur-sumur minyak sendiri, berikut upayanya mendapatkan sumber-sumber minyak baru.
Ia mengatakan, seandainya biaya Pilkada dan Pilpres serentak tahun 2024 akan datang yang dikabarkan menelan biaya hingga Rp110 triliun digunakan untuk melakukan eksplorasi, niscaya Indonesia bisa berpeluang memperoleh ratusan hingga ribuan titik sumur baru.
Dengan estimasi biaya pengeboran satu sumur ia perkirakan 100 hingga 150 miliar rupiah. “Ini otomatis sesuatu yang sangat mampu sebenarnya kita untuk mendapatkan sumber-sumber minyak baru dengan penggalian sumur-sumur baru,” tekannya kembali.
Bukan tanpa dasar ia bilang demikian. “Dalam Islam, pemilihan bupati, pemilihan gubernur tidak ada. Biaya yang sangat tinggi itu bisa dialokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan umat yang lain,” terangnya.
Belum lagi ia memisalkan, tahun 2020 saja untuk fungsi legislasi, pembuatan undang-undang di DPR RI membutuhkan dana Rp184 miliar. “Dalam Islam, tugas ini, untuk membuat undang-undang cukup khalifah berijtihad atau bisa mengambil ijtihadnya mujtahid tanpa biaya sama sekali,” ulasnya.
Sehingga, jangankan untuk produksi minyak 710.000 bph (barel per hari) di tahun 2030 berikut seribu sumurnya seperti pencanangan menteri ESDM. Andai pemerintah bisa mengoptimalkan biaya, Indonesia sebenarnya mampu tanpa menunggu tahun tersebut.
“Ini rencana tahun 2030, terlalu lama mestinya kalau kita bisa mengoptimalkan biaya yang ada,” selanya.
Dengan demikian, adalah keniscayaan ketika Islam diterapkan berikut hukum-hukum Allah, maka rahmatan lil alamin akan bisa dirasakan seluruh umat. “Baik kaum Muslimin maupun non-muslim atau kafir dzimmi,” pungkasnya. []Zainul Krian