
Surabaya (shautululama) — “Banyak umat Islam yang alergi pada politik. Padahal dalam Al Qur’an banyak ajaran politik yaitu mengurusi urusan umat,”tegas ustadz Saifuddin Budiharjo pada Ahad (13/2/2022). Beliau hadir di ndalem KH. Abu Zaki Sholahuddin al Ghazali, dalam rangka Daurah Siyasiyah Syar’iyah Ulama dan asatidz Surabaya.
Al Qur’an ini petunjuk. “Mengapa tidak diterapkan dan hanya diamalkan hanya aspek individu?” tanyanya retoris.
Beliau kemudian menyontohkan ada Traffic light (Lampu lalu lintas). Sebelum dipasangkan pasti ada sosialisasinya (guna aturan petunjuk) ke masyarakat. Yang kedua harus ada yang menjamin dan menjaga yaitu institusi polisi yang memberi sanksi kepada pelanggar, agar tertib (takut melanggar, jera), sehingga tidak terjadi kecelakaan, kemacetan dan sebagainya.
“Termasuk Al Qur’an dan As Sunah harus ada yang mendakwahkan dan yang melindungi keberadaannya (ajarannya, petunjuknya) yaitu institusi Khilafah,”tegasnya.
Kemudian, Ustadz Saifuddin membeberkan bahwa orang kafir dengan gigih menghalangi tegaknya Islam. Seandainya dakwah bisa dihentikan maka dia akan menghentikan, namun faktanya tidak akan bisa. Mereka terus berusaha mengaburkan, membelokkan, membuat bias agar kita tidak melaksanakan perintah Allah dan RasulNya.
Uraian pembahasan khilafah disampaikan dengan apik oleh ustad Saifuddin. Khilafah adalah negara internasional, tidak ada sekat-sekat di negeri kaum muslimin. Kekuatan inilah yang mereka takuti sehingga mereka berupaya memecah belah kaum muslimin, dengan nasionalisme, dipecah lagi dengan kesukuan (Jawa, Sumatera, Kalimantan) dan seterusnya.
“Jika Khilafah adalah sifatnya global kepemimpinan umum kaum muslimin maka wadah perubahannya adalah partai politik islam yang landasannya aqidah Islam, tujuannnya melangsunngkan kehidupan Islam kaffah,” jelasnya mengebu-gebu.
Keyakinan terhadap apa yang diperjuangkan maka tidak perlu takut dan minder ditolak. Dakwah Rasul juga ditolak namun juga banyak yang menerima. Sehingga diterima atau ditolak itu bukan ukuran kebenaran. Kebenaran itu muncul dari aturan sang Pencipta alam semesta ini, melalui wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Syaikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf an-Nabhani adalah seorang ulama dari Yerusalem. Dia telah hafal Al Quran sebelum usia 13 tahun. Lulusan Al Azhar Asy Syarif di Kairo Mesir. Beliau mendirikan partai politik yang berazaskan aqidah islam sebagai sarana berdakwah untuk mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Islam ala minhajin nubuwwah.
Syaikh Taqiyuddin mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayahnya sendiri, seorang Syekh yang faqih fid din. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu syari’ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syari’ah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syekh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Beliau seorang qadhi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka di daerah Turki Utsmani.
Pada tahun 1940, Syaikh Muhammad Taqiyuddin diangkat sebagai Musyawir (Pembantu Qadi) dan beliau terus memegang jabatan ini hingga tahun 1945, yakni saat ia dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadi di Mahkamah Ramallah hingga tahun 1948.
Setelah itu, beliau keluar dari Ramallah menuju Syam sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi. Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya Al Ustadz Anwar Al Khatib mengirim surat kepadanya, yang isinya meminta agar ia kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai qadi di Mahkamah Syar’iyah Al Quds. Syekh Taqiyyuddin mengabulkan permintaan itu dan kemudian dia diangkat sebagai qadi di Mahkamah Syar’iyah Al Quds pada tahun 1948.
Begitulah sekilas perjalanan seorang ulama ahlus sunnah wal jamaah manhaji Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani untuk mengajak umat Islam berjuang dalam penegakkan syariah dan khilafah.[hn]